PERENCANAAN PENDIDIKAN BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN WILAYAH
I. PENDAHULUAN
Tuhan telah menganugerahkan dunia ketiga, sebagaimana Barat menyebut negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, Sumberdaya Alam yang luar biasa besar. Bahkan seorang ekonom Barat mengatakan, " God has made a mistake" karena Sumberdaya Alam dunia lebih banyak berada di wilayah ini. Kesejahteraan atau kemakmuran adalah akibat dari terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri menuntut adanya keterkaitan antara Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Modal sehingga melahirkan output yang memberikan manfaat daerah. Ketika ketiganya belum bertemu dan terkait, maka pertumbuhan ekonomipun tidak terjadi. Pertumbuhan ekonomi masih sebatas Potensi. Selain aspek pemerataan dan stabilitas ekonomi, sasaran penting dari pembangunan ekonomi adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini dianggap penting karena secara implisit pertumbuhan ekonomi menunjukkan kualitas kinerja ekonomi yang sesungguhnya, seperti tingkat investasi, besaran penyerapan tenaga kerja, jumlah output, dan peningkatan pendapatan daerah. Negara atau daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendeskripsikan kemampuan negara atau daerah untuk menyejahterakan rakyatnya, ceteris paribus.
I.1. Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Yustika (2006:254) ada dua pendekatan pertumbuhan ekonomi, yaitu pendekatan statis dan pendekatan dinamis. Pendekatan statis adalah pertumbuhan ekonomi tanpa adanya perubahan (peningkatan) teknologi (Yeager, 1998:36). Dalam pendekatan ini pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tiga variabel yakni: tabungan, investasi, dan penduduk. Tingkat tabungan yang tinggi akan memacu investasi, kemudian investasi tersebut akan menyerap tenaga kerja, selanjutnya tenaga kerja (plus modal:alat-alat, mesin) akan menghasilkan output. Pertumbuhan output inilah yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Dalam teori perumbuhan ini inefisiensi terjadi jika tenaga kerja belum digunakan secara penuh (full employment) atau mungkin tingkat tabungan dan investasi sangat rendah yang disebabkan karena ketakutan adanya kebijakan nasionalisasi atau faktor lain. Untuk mengatasi hal ini, inefisiensi, maka diatasi dengan meningkatkan spesialisasi dan pembagian tenaga kerja. Dalam produksi mobil misalnya bisa dibagi menjadi tiga bagian pembuatan kerangka, pemasangat perlengkapan mobil, dan pengecekan akhir. Dengan pembagiana kerja ini seorang pekerja hanya dituntut untuk menguasai pekerjaan di divisinya saja (spesialisasi). Dengan rentang pekerjaan yang tidak terlalu luas, dipastikan pekerja akan mampu menguasai pekerjaan tersebut dengan baik sehingga tingkat produktifitas dan mutu pekerjaan semakin tinggi. Jadi, efisiensi dan produktifitas dalam teori ini tidak harus dilakukan dengan menambah sumberdaya maupun mengubah teknologi, tetapi cukup dengan mempraktikkan pembagian pembagian kerja (spesialisasi).
Pendekatan pertumbuhan ekonomi yang kedua adalah pendekatan dinamis. Pendekatan pertumbuhan ini menekankan pada penguasaan dan penggunaan teknologi baru. Teori ini mendesain model pertumbuhan yang dapat menangkap peran ilmu pengetahuan dan ide-ide untuk mempercepat inovasi dan perubahan teknologi. Pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang ini bisa dicapai dengan dua cara: meningkatkan jumlah sumber daya dan meningkatkan kualitas(produktifitas) sumber daya. Cara yang pertama berdasar pada asumsi input besar maka output juga besar, sedangkan cara yang kedua berdasar pada asumsi input tetap mampu menghasilkan output besar. Yang kedua ini disebut juga dengan 'pertumbuhan intensif' atau nama lain dari 'new growth theory' yang menjadi kunci peningkatan standar hidup secara sistematis dari waktu ke waktu karena sumber daya yang tersedia digunakan secara maksimal (intensif) sehingga diperoleh output yang lebih besar. Dengan peningkatan teknologi, meskipun kuantitas input tetap perekonomian dapat bergerak melewati batas maksimal produksi.
I.2. Permasalahan
Dari latar belakang diatas yang masalah yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah:
a. Bagaimana teknologi dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu?
b. Bagaimana pendidikan bisa selaras dengan tuntutan dan kebutuhan daerah?
c. Bagaimana pendidikan bisa berkontribusi dalam pengembangan daerah?
II. Tinjauan Pustaka dan Pembahasan
Menurut Yeager (1994: 47-49 in Yustika, 2006:262) ada tiga cara: Pertama, sebuah negara harus memercepat dan memperkuat kreativitas manusia (human creativity); kedua, mengupayakan agar pasar modal berfungsi dengan baik; ketiga, menciptakan lingkungan yang kompetitif. Dari ketiga hal tersebut yang paling dominan dalam menentukan pertumbuhan ekonomi di negara maju adalah cara pertama. Sehingga sering dijumpai divisi Research and Development di negara maju selalu dominan baik dalam hal kewenangan maupun alokasi anggaran. Percepatan dan penguatan kreativitas manusia hanya bisa ditempuh melalui dunia pendidikan. Pada titik inilah maka dunia pendidikan harus bisa menjawab kebutuhan dunia usaha yang terkait dengan potensi daerah atau wilayah. Pendidikan merupakan elemen kunci bagi percepatan pengembangan teknologi (Yustika: 266). Bahkan, berdasarkan penelitian Thomas (2001:253) disebutkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Distribusi pendidikan yang tidak merata dan berkesinambungan memiliki dampak negatif terhadap pendapatan perkapita di kebanyakan negara. Sehingga, peningatan kemampuan dan pendidikan diharapkan menjadi elemen penting bagi proses crative destruction sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih mudah dicapai.
Salah satu tujuan dari negara ini, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu sehingga mempunyai keterampilan hidup (life skills) dan kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, serta mendorong tegaknya masyarakat modern, inovatif dan berdaya saing. Namun pendidikan dirasa belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, sehingga pembenahan terus dilakukan. Pendidikan diharapkan mampu untuk mengakomodasi keunggulan lokal sehingga bisa digunakan untuk menjawab tantangan dalam persaingan global. Pemikiran mengenai desain pendidikan seperti ini mengarah dan mendorong diupayakannya strategi desentralisasi pendidikan. Pada tulisan ini akan dibahas pertama mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, kemudian kedua renstra depdiknas dalam kaitannya dengan amanat desentralisasi pendidikan, terakhir implementasi dari hubungan antara otonomi daerah, desentralisasi pendidikan dan perencanaan pendidikan.
II.1. Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan konsep yang telah dipikirkan sejak lama, bahkan sudah sejak pemerintahan pertama di negara ini. Konsep ini telah menjadi kebijakan resmi negara sejak tahun 1947, dengan terbitnya UU No. 32/1947, di mana daerah berhak menyelenggarakan pendidikan sesuai kebutuhannya, terutama bidang pertukangan dan kepandaian puteri (Soedibyo: 2005). Kewenangan yang lebih luas lagi diberikan 3 tahun kemudian lewat UU No. 4/1950 dan jabarannya dalam PP No. 65/1951 yang mendesentralisasikan pengelolaan pendidikan (dasar) kepada daerah dan hak bagi pihak swasta untuk ikut mendirikan sekolah.
Meski desentralisasi yang dilakukan saat itu masih terbatas , rintisan itu dikembangkan pada masa Orde Baru. UU No. 5/1974 (Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), UU No. 2/1989 (Sistem Pendidikan Nasional) dan PP No. 28/1990 (Pendidikan Dasar) adalah sebagian instrumen legal yang mendasari inisiatif desentralisasi. Arsitektur pembagian kewenangan tampak lebih jelas, yakni daerah (melalui Dinas) mengurus pengadaan gedung dan penyediaan tanah untuk sekolah, sementara pusat (melalui Kanwil/Kandep) bertanggung jawab atas pengadaan guru, kurikulum dan perlengkapan pendidikan. Menyangkut kurikulum, daerah juga diberi hak untuk menambah muatan lokal dalam porsi yang ditetapkan pusat.
Melalui UU No. 22/1999 maupun hasil revisinya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan bukan saja termasuk urusan yang didesentralisasikan, tetapi bahkan menjadi urusan wajib yang harus diupayakan oleh daerah; hal ini terlihat dalam Pasal 11 ayat 2 UU No. 22/1999 dan Pasal 14 ayat 1 UU No. 32/2004. Ini artinya, pertama, pusat wajib menyerahkan penyelenggaraan urusan itu kepada daerah; kedua, daerah tidak bisa menolak dengan alasan apa pun untuk menyelenggarakannya. Meskipun dalam perjalanannya jika pemerintah kota/kabupaten tidak mampu untuk mengimplementasikan akan di ambil alih oleh pemerintah provinsi, PP no. 25 tahun 2000. Berdasarkan UU no. 20/2003, Undang-Undang Sisdiknas, yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling tidak sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif (Muslim: 2006). Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional. Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan masih banyak lagi pasal-pasal lain yang memberikan aksentuasi kepada pemerintah daerah yang diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Untuk menjawab tuntutan dari perundang-undangan tersebut dan agar Indonesia memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang datang, maka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selaku badan yang melakukan perencanaan nasional menuangkan program-program Depdiknas ke dalam 15 program (lihat Tabel 1.1). Sementara itu, Depdiknas selaku bagian dari pemerintah yang mendapat amanat untuk melakukan pengembangan manusia dari sisi pendidikan pun telah membuat 39 kegiatan pokok (lihat Tabel 1.1) yang pada intinya mengacu pada misi pembangunan nasional. Ke-39 kegiatan pokok dari Depdiknas ini dapat dikelompokkan pada 15 program dari Bappenas, sebagaimana bisa diliha dalam tabel berikut ini:
]Tabel 1.1 Program Penguatan Kebijakan Depdiknas dengan RPJM Bappenas
Program Bappenas
Kegiatan Pokok Depdiknas
1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) – TK, RA, KB, TPQ
8. Perluasan akses PAUD
2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun – SD, MI, SMP, MTs
1. Pendanaan biaya operasional Wajar Dikdas 9 tahun
2. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan wajar
3. Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan
4. Perluasan akses pendidikan wajar pada jalur nonformal
6. Perluasan akses SLB dan sekolah inklusif
7. Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil, berpenduduk jarang dan terpencar, bencana, konflik, serta anak jalanan.
3. Pendidikan Menengah
10. Perluasan akses SMA/SMK dan SM terpadu
21. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kab/kota
22. Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota
4. Pendidikan Tinggi
11. Perluasan akses PT
23. Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia dan 500 besar dunia
24. Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi
25. a. Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI
25. b. Peningktan reativitas, entrepreneurship, dan kepemimpinan mahasiswa
5. Pendidikan Nonformal
5. Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia >15 thn.
9. Pendidikan kecakapan Hidup
20. Perluasan pendidikan kecakapan hidup
6. Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
17. a. Pengembangan guru sebagai profesi
17. b. Peningkatan kesejahteraan pendidik nonformal
18. Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
7. Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
13. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/SM Terpadu, SLB, dan PT
14. Implementasi dan penyempurnaan SNP dan penguatan peran BSNP
15. a. Pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu pada SNP
15. b. Survei Bencmarking Mutu Pendidikan terhadap standar internasional
16. Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF, dan BAN-PT
8. Manajemen Pelayanan Pendidikan
19. Perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana
28. Peningkatan kapasitas dan kompetensi parat pengelola pendidikan
32. Penataan regulasi pengelolaan pendidikan
Program-program lainnya
9. Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan
10. Program Penelitian dan Pengembangan Iptek
11. Program Penguatan Kelembagaan Pengarus- utamaan Gender dan Anak
12. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara
13. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan
14. Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur
15. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara
12. Pemanfaatan TIK sebagai sarana/media pembelajaran jarak jauh
26. Pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan
27. Peningkatan SPI berkoordinasi dengan BPKP dan BPK
29. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran
30. Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat
31. Peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan
33. Peningkatan citra publik
34. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan
35. Pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan KKN
36. Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Itjen
37. Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP, dan BPK
38. Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK
39. Pengembangan aplikasi SIM secara terintegrasi (Keuangan, Aset, Kepegawaian, dan data lainnya)
Sumber: Bappenas, 2004 & Program Kebijakan Depdiknas, 2004
II.2 Desentralisasi Pendidikan dan Kurikulum Muatan Lokal
Dalam kaitannya dengan desentralisasi pendidikan dalam bingkai otonomi daerah yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah kegiatan pokok depdiknas diatas adalah kegiatan ke-21pada jenjang pendidikan menengah. Kegiatan depdiknas ke-21 itu adalah pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap daerah. Dengan adanya desentralisasi kebijakan ini, maka daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah yang berbasis keunggulan lokal dan global. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas sudah diatur bahwa pelaksanaan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan harus dilakukan di daerah. Oleh karena itu pengembangan kurikulum sebagai salah satu substansi utama dalam pengembangan pendidikan di desentralisasikan, terutama kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Dengan demikian daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Sehubungan dengan kondisi daerah dan potensi daerah di Indonesia yang cukup beragam, maka daerah perlu menggali, meningkatkan dan mempromosikan potensinya melalui pendidikan di sekolah. Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah yang perlu dikembangkan yang lebih baik lagi. Keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing daerah sangat bervariasi. Dengan kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian secara khusus bagi pemerintah daerah sehingga anak-anak daerah tidak asing dengan daerahnya sendiri dan faham betul tentang potensi dan nilai-nilai serta budaya daerahnya sendiri, sehingga anak-anak dapat mengembangkan dan memberdayakan potensi daerahnya sesuai dengan tuntutan ekonomi global yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia. Diharapkan dengan ekonomi global tersebut, masing-masing daerah ingin berlomba bersaing dengan negara lain untuk memasarkan keunggulan daerahnya sendiri. II.3. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global Konsep Dasar Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk persaingan global. Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah. Keunggulan yang dimiliki suatu daerah dapat lebih memberdayakan penduduknya sehingga mampu meningkatkan pendapatan atau meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena manfaat dan pendapatan yang diperoleh menjadikan penduduk daerah tersebut berupaya untuk melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas keunggulan lokal yang dimiliki daerahnya sehingga bermanfaat bagi penduduk daerah setempat serta mampu mendorong persaingan secara kompetitif pada tingkat nasional maupun global. Dengan memberdayakan keunggulan lokal dan global dapat menjawab permasalahan yang ada, antara lain : a. Keunggulan lokal dan global apa yang dapat dikembangkan b. Adakah manfaatnya bagi masyarakat c. Bagaimana cara mengembangkannya d. Bagaimana cara pembelajarannya yang efektif dan efesien e. Infrastruktur apa yang diperlukan f. Berapa lama pembelajaran keunggulan lokal dan global dilaksanakan. Tujuan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah dimana dia tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal daerah tersebut, selanjutnya siswa mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan / jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan lokal sehingga memperoleh pendapatan dan melestarikan budaya / tradisi / sumber daya yang menjadi unggulan daerah serta mampu bersaing secara nasional maupun global. Supaya keunggulan yang dimiliki daerah dapat dipahami siswa dan keunggulan daerah dapat menyejahterakan masyarakatnya diharapkan keunggulan daerah dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat pada umumnya. Sehingga masyarakat dapat menjaga kelestarian potensi daerahnya dan dapat memanfaatkan potensi daerahnya sendiri dengan semaksimal mungkin, sehingga bermanfaat bagi hidupnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. III. Muatan Lokal Dalam Hubungannya Dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan III.1. Penyusunan Visi dan Misi Kurikulum yang bisa mengakomodir kepentingan desentralisasi, otonomi daerah, dan potensi keunggulan lokal tersebut adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang disingkat dengan KTSP. Perbedaan Model KTSP yang dikembangkan dalam sekolah-sekolah menengah berbasis keunggulan lokal dan global secara umum adalah terletak pada spesifikasi muatan kurikulum yang hendak dikembangkan, mulai dari visi misi, isi mata pelajaran/bidang studi, pembelajaran, dan juga penilaian (wasino: 2008). 1. Rumusan Visi dan Misi Pengembangan Kurikulum berbasis keunggulan lokal dan global terkait dengan pengembangan dan penyelengaraan KTSP yang sedang dikembangkan oleh sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum ini terkait dengan pengembangan kurikulum inovatif lainnya seperti : pendidikan kecakapan hidup, pengembangan multi kultur, sets, dan kurikulum-kurikulum inovatif lain yang hendak dikembangkan. Sehubungan dengan hal itu maka visi dan misi sekolah yang hendak mengembangkan kurikulum berbasis keunggulan lokal harus memadukannya dengan visi dan misi kurikulum inovatif lainnya dengan menonjolkan pada keunggulan lokalnya yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif sekolah tersebut dalam bersaing dengan dunia global dalam menghasilkan lulusannya. Rumusan visi dan misi tersebut harus jelas mencirikan keunggulan lokalnya yang memiliki basis kuat dalam lingkungan ekonomi, budaya, dan alam di sekitarnya. Sebagai contoh pada sekolah menengah yang tinggal di lingkungan pusat wisata budaya (seperti di sejumlah sekolah menengah di Bali) harus memasukkan visi dan misi sekolahnya sebagai sekolah yang berwawasan wisata budaya. Demikian pula pada sekolah di lingkungan ekonomi kerajinan seperti Jeapara Jawa Tengah, atau Kerajinan wayang kulit di Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri harus memasukkan secara tegas dalam visi misi sekolahnya bahwa sekolah tersebut berbasis seni kerajinan unggul di daerahnya tersebut. Sementara itu pada sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan alam yang dapat dikembangkan untuk melahirkan daya saing tingkat global memasukkan visi-misi yang terkait dengan pengembangan sumber alam tersebut. Sekolah Menengah di NTB yang tinggal di dekat pantai dapat memasukkan visi misi sekolahnya secara eksplisit bahwa sekolah tersebut mengembangkan sumber daya air seperti kerang mutiara, dan seterusnya. III.2 Penyusunan Kurikulum Dalam penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sekolah dapat mengembangkan struktur kurikulum berdasarkan kebutuhan siswa dan sekolah terkait dengan upaya pencapaian Standar Kompetensi Lulusan. Pengembangan Struktur Kurikulum dilakukan dengan cara antara lain: mengatur alokasi waktu pembelajaran tatap muka seluruh mata pelajaran wajib dan pilihan keterampilan/bahasa asing lain, memanfaatkan 4 jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru, mencantumkan jenis mata pelajaran muatan lokal dalam struktur kurikulum, tidak boleh mengurangi mata pelajaran yang tercantum dalam standar isi. Pembelajaran materi pelajaran keunggulan lokal dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu mandiri, kolaborasi, dan integrasi. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan secara mandiri yaitu sekolah secara sepenuhnya memberikan materi keunggulan lokal di dalam sekolah termasuk dalam proses belajar mengajar, guru pembelajar, dan sarana-prasarana pendukungnya. Pembelajaran secara kolaborasi dimaksudkan bahwa sekolah menjalin kerjasama dengan instansi terkait untuk mengimplementasikan kurikulum berbasis keunggulan lokal, misalnya dengan dinas pariwisata, dinas perindustrian, lembaga kerajinan, galery seni, paguyuban dalang, dan sebagainya. Penyelenggaraannya di sekolah, tetapi dengan mendatangkan pengajar dari lembaga mitra yang kompeten. Cara ketiga hampir sama dengan cara kedua, tetapi penyelenggaraannya di luar sekolah tetapi di tempat lembaga mitra tersebut. Untuk menjamin keberlanjutan pelaksanaan program pendidikan berbasis keunggulan lokal, maka program pembelajarannya harus menjadi bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan, dengan beberapa alternatif sebagai berikut: 1).Pelaksanaan Pembelajaran dapat dilaksanakan melalui: a). Pengintegrasian dalam mata pelajaran Bahan kajian/substansi keunggulan lokal dapat diintegrasikan kedalam mata pelajaran tertentu yang relevan dengan SK/KD mata pelajaran tersebut. Selain itu pengintegrasian juga dapat dilakukan pada mata pelajaran lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada kelompok mata pelajaran pengembangan diri. b). Kelompok Mata pelajaran pengembangan diri Dalam standar isi kurikulum 2005 tersedia muatan materi pelajaran yang tidak tertampung dalam struktur mata pelajaran formal dapat dimasukkan dalam pengembangan diri. Pembelajaran materi pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat juga diberikan secara tersendiri sebagai bagian dari pengembangan diri. Apabila daya dukung satuan pendidikan yang bersangkutan kurang memadai untuk menyelenggarakan pendidikan keunggulan lokal, maka dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan satuan pendidikan formal dan/atau satuan pendidikan non formal lain (yang terakreditasi) dan menyelenggarakan program yang relevan. IV. Peranan Co-Planer di Tingkat Distrik
Penentuan mata pelajaran di suatu daerah (tingkat kabupaten atau kotamadya yang merupakan kewenangan dari Dewan Pendidikan dan institusi pendidikan atau Diknas, seharusnya dilakukan melalui studi tentang identifiskasi potensi daerah masing-masing. Sehingga, Bahan ajar (mata pelajaran) yang diberikan kepada siswa sesuai dan memang diperlukan oleh masyarakat sekitar (social demand). Pendidikan Daerah seharusnya mampu memenuhi keperluan masyarakat sekitar pada tenaga terampil untuk memajukan daerah dengan terjadinya peningkatan kesejahateraan, kesempatan kerja, dan IPM. Jangan sampai terjadi sumber daya alam daerah dikelola oleh pendatang, baik yang berasal dari daerah lain atau apalagi dari negara lain. Pendayagunaan sumber daya alam yang tidak mampu mengakomodir semua kehendak dan kebutuhan masyarakat daerah hanya merupakan eksploitasi yang sangat merugikan masyarakat selaku penduduk asli daerah.
Pada titik inilah peran dari Coplaner dibutuhkan. Coplaner adalah salah satu proyek yang dibuat untuk menyebarluaskan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya pendidikan (Jiyono et al, 2001: 135). Coplaner bertugas untuk memberikan informasi dan kebutuhan dasar pendidikan yang akurat pada tingkat sekolah yang diusulkan dan diajukan secara berjenjang ke pusat melalui proses bottom up planning. Coplaner ini berada di tingkat kecamatan dengan maksud agar informasi yang diperoleh lebih relevan karena lebih dekat dengan lokasi proyek coplaner, dan agar ada koordiansi dalam menyampaikan informasi secara tepat waktu ke kabupaten.
V. Kesimpulan
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa desentralisi pendidikan yang berpijak pada UU no 22/1999 dan revisinya UU no.32/2004 tentang pemerintahan daerah serta UU no.20/2003 tentang Sisdiknas, adalah kebutuhan mutlak bagi peningkatan sumber daya yang relevan untuk pengembangan potensi daerah. Tuntutan Undang-undang tersebut dijawab oleh pemerintah melalui renstra Depdiknas 2004-2009 terutama pada kegiatan depdiknas ke-21 tentang pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga trampil yang diperlukan untuk mengembangkan potensi daerah yang muaranya adalah peningkatan kesejahteraan dengan parameter meningkatnya PAD. Kurikulum yang menyertai pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal disetiap daerah ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang mempunyai visi dan misi yang selaras dengan potensi lokal atau daerah. KTSP mem-break down mata pelajaran kedalam Standard Kompetensi (SK) yang terdiri dari beberapa Kompetensi Dasar (KD). Pelajaran Muatan lokal dalam KTSP bisa disampaikan dalam 3 strategi yaitu: mandiri, kolaborasi, integrasi.
Agar sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap daerah dan mata pelajaran Muatan lokal dalam KTSP bisa match dengan kebutuhan dan potensi daerah diperlukan identifikasi dan kajian atau analisis tentang potensi daerah. Pada sisi inilah peran coplaner yang berada di tingkat kecamatan sangat diperlukan peran dan keberadaannya untuk memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rangka pembuatan bottom-up planning.
PERENCANAAN PENDIDIKAN BERBASIS KEUNGGULAN LOKAL DENGAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN WILAYAH
I. PENDAHULUAN
Tuhan telah menganugerahkan dunia ketiga, sebagaimana Barat menyebut negara-negara berkembang di Asia dan Afrika, Sumberdaya Alam yang luar biasa besar. Bahkan seorang ekonom Barat mengatakan, " God has made a mistake" karena Sumberdaya Alam dunia lebih banyak berada di wilayah ini. Kesejahteraan atau kemakmuran adalah akibat dari terjadinya pertumbuhan ekonomi. Sedangkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri menuntut adanya keterkaitan antara Sumberdaya Alam, Sumberdaya Manusia dan Modal sehingga melahirkan output yang memberikan manfaat daerah. Ketika ketiganya belum bertemu dan terkait, maka pertumbuhan ekonomipun tidak terjadi. Pertumbuhan ekonomi masih sebatas Potensi. Selain aspek pemerataan dan stabilitas ekonomi, sasaran penting dari pembangunan ekonomi adalah tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini dianggap penting karena secara implisit pertumbuhan ekonomi menunjukkan kualitas kinerja ekonomi yang sesungguhnya, seperti tingkat investasi, besaran penyerapan tenaga kerja, jumlah output, dan peningkatan pendapatan daerah. Negara atau daerah yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi mendeskripsikan kemampuan negara atau daerah untuk menyejahterakan rakyatnya, ceteris paribus.
I.1. Pertumbuhan Ekonomi
Menurut Yustika (2006:254) ada dua pendekatan pertumbuhan ekonomi, yaitu pendekatan statis dan pendekatan dinamis. Pendekatan statis adalah pertumbuhan ekonomi tanpa adanya perubahan (peningkatan) teknologi (Yeager, 1998:36). Dalam pendekatan ini pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh tiga variabel yakni: tabungan, investasi, dan penduduk. Tingkat tabungan yang tinggi akan memacu investasi, kemudian investasi tersebut akan menyerap tenaga kerja, selanjutnya tenaga kerja (plus modal:alat-alat, mesin) akan menghasilkan output. Pertumbuhan output inilah yang menjadi sumber pertumbuhan ekonomi. Dalam teori perumbuhan ini inefisiensi terjadi jika tenaga kerja belum digunakan secara penuh (full employment) atau mungkin tingkat tabungan dan investasi sangat rendah yang disebabkan karena ketakutan adanya kebijakan nasionalisasi atau faktor lain. Untuk mengatasi hal ini, inefisiensi, maka diatasi dengan meningkatkan spesialisasi dan pembagian tenaga kerja. Dalam produksi mobil misalnya bisa dibagi menjadi tiga bagian pembuatan kerangka, pemasangat perlengkapan mobil, dan pengecekan akhir. Dengan pembagiana kerja ini seorang pekerja hanya dituntut untuk menguasai pekerjaan di divisinya saja (spesialisasi). Dengan rentang pekerjaan yang tidak terlalu luas, dipastikan pekerja akan mampu menguasai pekerjaan tersebut dengan baik sehingga tingkat produktifitas dan mutu pekerjaan semakin tinggi. Jadi, efisiensi dan produktifitas dalam teori ini tidak harus dilakukan dengan menambah sumberdaya maupun mengubah teknologi, tetapi cukup dengan mempraktikkan pembagian pembagian kerja (spesialisasi).
Pendekatan pertumbuhan ekonomi yang kedua adalah pendekatan dinamis. Pendekatan pertumbuhan ini menekankan pada penguasaan dan penggunaan teknologi baru. Teori ini mendesain model pertumbuhan yang dapat menangkap peran ilmu pengetahuan dan ide-ide untuk mempercepat inovasi dan perubahan teknologi. Pertumbuhan ekonomi dari sudut pandang ini bisa dicapai dengan dua cara: meningkatkan jumlah sumber daya dan meningkatkan kualitas(produktifitas) sumber daya. Cara yang pertama berdasar pada asumsi input besar maka output juga besar, sedangkan cara yang kedua berdasar pada asumsi input tetap mampu menghasilkan output besar. Yang kedua ini disebut juga dengan 'pertumbuhan intensif' atau nama lain dari 'new growth theory' yang menjadi kunci peningkatan standar hidup secara sistematis dari waktu ke waktu karena sumber daya yang tersedia digunakan secara maksimal (intensif) sehingga diperoleh output yang lebih besar. Dengan peningkatan teknologi, meskipun kuantitas input tetap perekonomian dapat bergerak melewati batas maksimal produksi.
I.2. Permasalahan
Dari latar belakang diatas yang masalah yang akan diangkat dalam tulisan ini adalah:
a. Bagaimana teknologi dapat ditingkatkan dari waktu ke waktu?
b. Bagaimana pendidikan bisa selaras dengan tuntutan dan kebutuhan daerah?
c. Bagaimana pendidikan bisa berkontribusi dalam pengembangan daerah?
II. Tinjauan Pustaka dan Pembahasan
Menurut Yeager (1994: 47-49 in Yustika, 2006:262) ada tiga cara: Pertama, sebuah negara harus memercepat dan memperkuat kreativitas manusia (human creativity); kedua, mengupayakan agar pasar modal berfungsi dengan baik; ketiga, menciptakan lingkungan yang kompetitif. Dari ketiga hal tersebut yang paling dominan dalam menentukan pertumbuhan ekonomi di negara maju adalah cara pertama. Sehingga sering dijumpai divisi Research and Development di negara maju selalu dominan baik dalam hal kewenangan maupun alokasi anggaran. Percepatan dan penguatan kreativitas manusia hanya bisa ditempuh melalui dunia pendidikan. Pada titik inilah maka dunia pendidikan harus bisa menjawab kebutuhan dunia usaha yang terkait dengan potensi daerah atau wilayah. Pendidikan merupakan elemen kunci bagi percepatan pengembangan teknologi (Yustika: 266). Bahkan, berdasarkan penelitian Thomas (2001:253) disebutkan bahwa ada hubungan sebab akibat antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi. Distribusi pendidikan yang tidak merata dan berkesinambungan memiliki dampak negatif terhadap pendapatan perkapita di kebanyakan negara. Sehingga, peningatan kemampuan dan pendidikan diharapkan menjadi elemen penting bagi proses crative destruction sehingga pertumbuhan ekonomi bisa lebih mudah dicapai.
Salah satu tujuan dari negara ini, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Oleh karena itu setiap warga negara berhak untuk mendapatkan pendidikan yang bermutu sehingga mempunyai keterampilan hidup (life skills) dan kemampuan untuk mengenal dan mengatasi masalah diri dan lingkungannya, serta mendorong tegaknya masyarakat modern, inovatif dan berdaya saing. Namun pendidikan dirasa belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan, sehingga pembenahan terus dilakukan. Pendidikan diharapkan mampu untuk mengakomodasi keunggulan lokal sehingga bisa digunakan untuk menjawab tantangan dalam persaingan global. Pemikiran mengenai desain pendidikan seperti ini mengarah dan mendorong diupayakannya strategi desentralisasi pendidikan. Pada tulisan ini akan dibahas pertama mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, kemudian kedua renstra depdiknas dalam kaitannya dengan amanat desentralisasi pendidikan, terakhir implementasi dari hubungan antara otonomi daerah, desentralisasi pendidikan dan perencanaan pendidikan.
II.1. Desentralisasi Pendidikan
Desentralisasi pendidikan merupakan konsep yang telah dipikirkan sejak lama, bahkan sudah sejak pemerintahan pertama di negara ini. Konsep ini telah menjadi kebijakan resmi negara sejak tahun 1947, dengan terbitnya UU No. 32/1947, di mana daerah berhak menyelenggarakan pendidikan sesuai kebutuhannya, terutama bidang pertukangan dan kepandaian puteri (Soedibyo: 2005). Kewenangan yang lebih luas lagi diberikan 3 tahun kemudian lewat UU No. 4/1950 dan jabarannya dalam PP No. 65/1951 yang mendesentralisasikan pengelolaan pendidikan (dasar) kepada daerah dan hak bagi pihak swasta untuk ikut mendirikan sekolah.
Meski desentralisasi yang dilakukan saat itu masih terbatas , rintisan itu dikembangkan pada masa Orde Baru. UU No. 5/1974 (Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah), UU No. 2/1989 (Sistem Pendidikan Nasional) dan PP No. 28/1990 (Pendidikan Dasar) adalah sebagian instrumen legal yang mendasari inisiatif desentralisasi. Arsitektur pembagian kewenangan tampak lebih jelas, yakni daerah (melalui Dinas) mengurus pengadaan gedung dan penyediaan tanah untuk sekolah, sementara pusat (melalui Kanwil/Kandep) bertanggung jawab atas pengadaan guru, kurikulum dan perlengkapan pendidikan. Menyangkut kurikulum, daerah juga diberi hak untuk menambah muatan lokal dalam porsi yang ditetapkan pusat.
Melalui UU No. 22/1999 maupun hasil revisinya dalam UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, penyelenggaraan pendidikan bukan saja termasuk urusan yang didesentralisasikan, tetapi bahkan menjadi urusan wajib yang harus diupayakan oleh daerah; hal ini terlihat dalam Pasal 11 ayat 2 UU No. 22/1999 dan Pasal 14 ayat 1 UU No. 32/2004. Ini artinya, pertama, pusat wajib menyerahkan penyelenggaraan urusan itu kepada daerah; kedua, daerah tidak bisa menolak dengan alasan apa pun untuk menyelenggarakannya. Meskipun dalam perjalanannya jika pemerintah kota/kabupaten tidak mampu untuk mengimplementasikan akan di ambil alih oleh pemerintah provinsi, PP no. 25 tahun 2000. Berdasarkan UU no. 20/2003, Undang-Undang Sisdiknas, yang disahkan tanggal 11 Juni 2003, terdapat paling tidak sembilan belas pasal yang menggandengkan kata pemerintah dan pemerintah daerah, yang konotasinya adalah berbagai kebijakan dalam pembangunan pendidikan hendaknya selalu mengawinkan kepentingan nasional dan kepentingan lokal (daerah) sehingga kualitas pendidikan yang diharapkan dapat meningkatkan daya saing peserta didik, dilaksanakan secara efisien dan efektif (Muslim: 2006). Mulai dari hak dan kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, sampai kepada hak regulasi dalam mengatur sistem pendidikan nasional. Secara singkat dapat disebutkan, misalnya dalam Undang-Undang Sisdiknas Pasal 10 disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah mengatur dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pada Pasal 34 ayat (2) disebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin terselenggaranya wajib belajar minimal jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya. Pada Pasal 44 ayat (1) disebutkan pemerintah dan pemerintah daerah wajib membina dan mengembangkan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Ayat (3) pemerintah dan pemerintah daerah wajib membantu pembinaan dan pengembangan tenaga kependidikan pada satuan pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat. Selanjutnya pada Pasal 49 ayat (1) disebutkan dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari APBD. Ayat (4) dana pendidikan dari pemerintah kepada pemerintah provinsi/kabupaten/kota diberikan dalam bentuk hibah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan masih banyak lagi pasal-pasal lain yang memberikan aksentuasi kepada pemerintah daerah yang diharapkan nantinya pengembangan pendidikan di tingkat lokal akan lebih efektif jika dikembangkan oleh pemerintah daerah bersama kelompok masyarakat. Sebab jenis kompetensi yang dibutuhkan oleh masing-masing daerah, berbeda satu sama lain. Itulah sebabnya pada Pasal 50 ayat (4) disebutkan bahwa pemerintah kabupaten/kota berkewajiban mengelola satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal.
Untuk menjawab tuntutan dari perundang-undangan tersebut dan agar Indonesia memiliki kesiapan dalam menghadapi tantangan globalisasi dan mampu memanfaatkan peluang yang datang, maka Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) selaku badan yang melakukan perencanaan nasional menuangkan program-program Depdiknas ke dalam 15 program (lihat Tabel 1.1). Sementara itu, Depdiknas selaku bagian dari pemerintah yang mendapat amanat untuk melakukan pengembangan manusia dari sisi pendidikan pun telah membuat 39 kegiatan pokok (lihat Tabel 1.1) yang pada intinya mengacu pada misi pembangunan nasional. Ke-39 kegiatan pokok dari Depdiknas ini dapat dikelompokkan pada 15 program dari Bappenas, sebagaimana bisa diliha dalam tabel berikut ini:
]Tabel 1.1 Program Penguatan Kebijakan Depdiknas dengan RPJM Bappenas
Program Bappenas
Kegiatan Pokok Depdiknas
1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) – TK, RA, KB, TPQ
8. Perluasan akses PAUD
2. Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 Tahun – SD, MI, SMP, MTs
1. Pendanaan biaya operasional Wajar Dikdas 9 tahun
2. Penyediaan sarana dan prasarana pendidikan wajar
3. Rekrutmen pendidik dan tenaga kependidikan
4. Perluasan akses pendidikan wajar pada jalur nonformal
6. Perluasan akses SLB dan sekolah inklusif
7. Pengembangan sekolah wajar layanan khusus bagi daerah terpencil, berpenduduk jarang dan terpencar, bencana, konflik, serta anak jalanan.
3. Pendidikan Menengah
10. Perluasan akses SMA/SMK dan SM terpadu
21. Pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap kab/kota
22. Pembangunan sekolah bertaraf internasional di setiap provinsi dan/atau kabupaten/kota
4. Pendidikan Tinggi
11. Perluasan akses PT
23. Mendorong jumlah jurusan di PT yang masuk dalam 100 besar Asia dan 500 besar dunia
24. Akselerasi jumlah program studi kejuruan, vokasi, dan profesi
25. a. Peningkatan jumlah dan mutu publikasi ilmiah dan HAKI
25. b. Peningktan reativitas, entrepreneurship, dan kepemimpinan mahasiswa
5. Pendidikan Nonformal
5. Perluasan akses pendidikan keaksaraan bagi penduduk usia >15 thn.
9. Pendidikan kecakapan Hidup
20. Perluasan pendidikan kecakapan hidup
6. Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan
17. a. Pengembangan guru sebagai profesi
17. b. Peningkatan kesejahteraan pendidik nonformal
18. Pengembangan kompetensi pendidik dan tenaga kependidikan
7. Penelitian dan Pengembangan Pendidikan
13. Peningkatan peran serta masyarakat dalam perluasan akses SMA/SMK/SM Terpadu, SLB, dan PT
14. Implementasi dan penyempurnaan SNP dan penguatan peran BSNP
15. a. Pengawasan dan penjaminan mutu secara terprogram dengan mengacu pada SNP
15. b. Survei Bencmarking Mutu Pendidikan terhadap standar internasional
16. Perluasan dan peningkatan mutu akreditasi oleh BAN-SM, BAN-PNF, dan BAN-PT
8. Manajemen Pelayanan Pendidikan
19. Perbaikan dan pengembangan sarana dan prasarana
28. Peningkatan kapasitas dan kompetensi parat pengelola pendidikan
32. Penataan regulasi pengelolaan pendidikan
Program-program lainnya
9. Pengembangan Budaya Baca dan Pembinaan Perpustakaan
10. Program Penelitian dan Pengembangan Iptek
11. Program Penguatan Kelembagaan Pengarus- utamaan Gender dan Anak
12. Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara
13. Program Penyelenggaraan Pimpinan Kenegaraan dan Kepemerintahan
14. Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur
15. Program Peningkatan Sarana dan Prasarana Aparatur Negara
12. Pemanfaatan TIK sebagai sarana/media pembelajaran jarak jauh
26. Pemanfatan teknologi informasi dan komunikasi dalam pendidikan
27. Peningkatan SPI berkoordinasi dengan BPKP dan BPK
29. Peningkatan kapasitas dan kompetensi aparat perencanaan dan penganggaran
30. Peningkatan kapasitas dan kompetensi managerial aparat
31. Peningkatan ketaatan pada peraturan perundang-undangan
33. Peningkatan citra publik
34. Peningkatan kapasitas dan kompetensi pengelola pendidikan
35. Pelaksanaan Inpres No.5 Tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan KKN
36. Intensifikasi tindakan-tindakan preventif oleh Itjen
37. Intensifikasi dan ekstensifikasi pemeriksaan oleh Itjen, BPKP, dan BPK
38. Penyelesaian tindak lanjut temuan-temuan pemeriksaan Itjen, BPKP, dan BPK
39. Pengembangan aplikasi SIM secara terintegrasi (Keuangan, Aset, Kepegawaian, dan data lainnya)
Sumber: Bappenas, 2004 & Program Kebijakan Depdiknas, 2004
II.2 Desentralisasi Pendidikan dan Kurikulum Muatan Lokal
Dalam kaitannya dengan desentralisasi pendidikan dalam bingkai otonomi daerah yang perlu mendapatkan perhatian lebih adalah kegiatan pokok depdiknas diatas adalah kegiatan ke-21pada jenjang pendidikan menengah. Kegiatan depdiknas ke-21 itu adalah pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap daerah. Dengan adanya desentralisasi kebijakan ini, maka daerah dapat mengembangkan potensi wilayahnya sesuai dengan situasi dan kondisi setempat. Salah satu kebijakan yang dapat dikembangkan adalah membuat kurikulum sekolah yang berbasis keunggulan lokal dan global. Berdasarkan peraturan perundang-undangan di atas sudah diatur bahwa pelaksanaan pendidikan di luar kewenangan pemerintah pusat dan harus dilakukan di daerah. Oleh karena itu pengembangan kurikulum sebagai salah satu substansi utama dalam pengembangan pendidikan di desentralisasikan, terutama kebutuhan siswa, keadaan sekolah dan kondisi daerah. Dengan demikian daerah atau sekolah memiliki cukup kewenangan untuk merancang dan menentukan hal-hal yang akan diajarkan. Sehubungan dengan kondisi daerah dan potensi daerah di Indonesia yang cukup beragam, maka daerah perlu menggali, meningkatkan dan mempromosikan potensinya melalui pendidikan di sekolah. Masing-masing daerah mempunyai keunggulan potensi daerah yang perlu dikembangkan yang lebih baik lagi. Keunggulan yang dimiliki oleh masing-masing daerah sangat bervariasi. Dengan kebergaman potensi daerah ini pengembangan potensi dan keunggulan daerah perlu mendapatkan perhatian secara khusus bagi pemerintah daerah sehingga anak-anak daerah tidak asing dengan daerahnya sendiri dan faham betul tentang potensi dan nilai-nilai serta budaya daerahnya sendiri, sehingga anak-anak dapat mengembangkan dan memberdayakan potensi daerahnya sesuai dengan tuntutan ekonomi global yang telah disepakati oleh pemerintah Indonesia. Diharapkan dengan ekonomi global tersebut, masing-masing daerah ingin berlomba bersaing dengan negara lain untuk memasarkan keunggulan daerahnya sendiri. II.3. Konsep Dasar Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global Konsep Dasar Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan global dalam aspek ekonomi, seni budaya, SDM, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain ke dalam kurikulum sekolah yang akhirnya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik yang dapat dimanfaatkan untuk persaingan global. Keunggulan lokal adalah hasil bumi, kreasi seni, tradisi, budaya, pelayanan, jasa, sumber daya alam, sumber daya manusia atau lainnya yang menjadi keunggulan suatu daerah. Keunggulan yang dimiliki suatu daerah dapat lebih memberdayakan penduduknya sehingga mampu meningkatkan pendapatan atau meningkatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah). Karena manfaat dan pendapatan yang diperoleh menjadikan penduduk daerah tersebut berupaya untuk melindungi, melestarikan dan meningkatkan kualitas keunggulan lokal yang dimiliki daerahnya sehingga bermanfaat bagi penduduk daerah setempat serta mampu mendorong persaingan secara kompetitif pada tingkat nasional maupun global. Dengan memberdayakan keunggulan lokal dan global dapat menjawab permasalahan yang ada, antara lain : a. Keunggulan lokal dan global apa yang dapat dikembangkan b. Adakah manfaatnya bagi masyarakat c. Bagaimana cara mengembangkannya d. Bagaimana cara pembelajarannya yang efektif dan efesien e. Infrastruktur apa yang diperlukan f. Berapa lama pembelajaran keunggulan lokal dan global dilaksanakan. Tujuan penyelenggaraan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah agar siswa mengetahui keunggulan lokal daerah dimana dia tinggal, memahami berbagai aspek yang berhubungan dengan keunggulan lokal daerah tersebut, selanjutnya siswa mampu mengolah sumber daya, terlibat dalam pelayanan / jasa atau kegiatan lain yang berkaitan dengan keunggulan lokal sehingga memperoleh pendapatan dan melestarikan budaya / tradisi / sumber daya yang menjadi unggulan daerah serta mampu bersaing secara nasional maupun global. Supaya keunggulan yang dimiliki daerah dapat dipahami siswa dan keunggulan daerah dapat menyejahterakan masyarakatnya diharapkan keunggulan daerah dapat menjadi kebanggaan bagi masyarakat pada umumnya. Sehingga masyarakat dapat menjaga kelestarian potensi daerahnya dan dapat memanfaatkan potensi daerahnya sendiri dengan semaksimal mungkin, sehingga bermanfaat bagi hidupnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. III. Muatan Lokal Dalam Hubungannya Dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan III.1. Penyusunan Visi dan Misi Kurikulum yang bisa mengakomodir kepentingan desentralisasi, otonomi daerah, dan potensi keunggulan lokal tersebut adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan atau yang disingkat dengan KTSP. Perbedaan Model KTSP yang dikembangkan dalam sekolah-sekolah menengah berbasis keunggulan lokal dan global secara umum adalah terletak pada spesifikasi muatan kurikulum yang hendak dikembangkan, mulai dari visi misi, isi mata pelajaran/bidang studi, pembelajaran, dan juga penilaian (wasino: 2008). 1. Rumusan Visi dan Misi Pengembangan Kurikulum berbasis keunggulan lokal dan global terkait dengan pengembangan dan penyelengaraan KTSP yang sedang dikembangkan oleh sekolah tersebut. Dengan demikian kurikulum ini terkait dengan pengembangan kurikulum inovatif lainnya seperti : pendidikan kecakapan hidup, pengembangan multi kultur, sets, dan kurikulum-kurikulum inovatif lain yang hendak dikembangkan. Sehubungan dengan hal itu maka visi dan misi sekolah yang hendak mengembangkan kurikulum berbasis keunggulan lokal harus memadukannya dengan visi dan misi kurikulum inovatif lainnya dengan menonjolkan pada keunggulan lokalnya yang dapat dikembangkan menjadi keunggulan kompetitif sekolah tersebut dalam bersaing dengan dunia global dalam menghasilkan lulusannya. Rumusan visi dan misi tersebut harus jelas mencirikan keunggulan lokalnya yang memiliki basis kuat dalam lingkungan ekonomi, budaya, dan alam di sekitarnya. Sebagai contoh pada sekolah menengah yang tinggal di lingkungan pusat wisata budaya (seperti di sejumlah sekolah menengah di Bali) harus memasukkan visi dan misi sekolahnya sebagai sekolah yang berwawasan wisata budaya. Demikian pula pada sekolah di lingkungan ekonomi kerajinan seperti Jeapara Jawa Tengah, atau Kerajinan wayang kulit di Kecamatan Manyaran, Kabupaten Wonogiri harus memasukkan secara tegas dalam visi misi sekolahnya bahwa sekolah tersebut berbasis seni kerajinan unggul di daerahnya tersebut. Sementara itu pada sekolah-sekolah yang memiliki keunggulan alam yang dapat dikembangkan untuk melahirkan daya saing tingkat global memasukkan visi-misi yang terkait dengan pengembangan sumber alam tersebut. Sekolah Menengah di NTB yang tinggal di dekat pantai dapat memasukkan visi misi sekolahnya secara eksplisit bahwa sekolah tersebut mengembangkan sumber daya air seperti kerang mutiara, dan seterusnya. III.2 Penyusunan Kurikulum Dalam penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, sekolah dapat mengembangkan struktur kurikulum berdasarkan kebutuhan siswa dan sekolah terkait dengan upaya pencapaian Standar Kompetensi Lulusan. Pengembangan Struktur Kurikulum dilakukan dengan cara antara lain: mengatur alokasi waktu pembelajaran tatap muka seluruh mata pelajaran wajib dan pilihan keterampilan/bahasa asing lain, memanfaatkan 4 jam tambahan untuk menambah jam pembelajaran pada mata pelajaran tertentu atau menambah mata pelajaran baru, mencantumkan jenis mata pelajaran muatan lokal dalam struktur kurikulum, tidak boleh mengurangi mata pelajaran yang tercantum dalam standar isi. Pembelajaran materi pelajaran keunggulan lokal dapat ditempuh dengan tiga cara, yaitu mandiri, kolaborasi, dan integrasi. Yang dimaksud dengan penyelenggaraan secara mandiri yaitu sekolah secara sepenuhnya memberikan materi keunggulan lokal di dalam sekolah termasuk dalam proses belajar mengajar, guru pembelajar, dan sarana-prasarana pendukungnya. Pembelajaran secara kolaborasi dimaksudkan bahwa sekolah menjalin kerjasama dengan instansi terkait untuk mengimplementasikan kurikulum berbasis keunggulan lokal, misalnya dengan dinas pariwisata, dinas perindustrian, lembaga kerajinan, galery seni, paguyuban dalang, dan sebagainya. Penyelenggaraannya di sekolah, tetapi dengan mendatangkan pengajar dari lembaga mitra yang kompeten. Cara ketiga hampir sama dengan cara kedua, tetapi penyelenggaraannya di luar sekolah tetapi di tempat lembaga mitra tersebut. Untuk menjamin keberlanjutan pelaksanaan program pendidikan berbasis keunggulan lokal, maka program pembelajarannya harus menjadi bagian integral dari keseluruhan proses pembelajaran yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang bersangkutan, dengan beberapa alternatif sebagai berikut: 1).Pelaksanaan Pembelajaran dapat dilaksanakan melalui: a). Pengintegrasian dalam mata pelajaran Bahan kajian/substansi keunggulan lokal dapat diintegrasikan kedalam mata pelajaran tertentu yang relevan dengan SK/KD mata pelajaran tersebut. Selain itu pengintegrasian juga dapat dilakukan pada mata pelajaran lain yang memiliki keterkaitan dengan pelaksanaan pembelajaran pada kelompok mata pelajaran pengembangan diri. b). Kelompok Mata pelajaran pengembangan diri Dalam standar isi kurikulum 2005 tersedia muatan materi pelajaran yang tidak tertampung dalam struktur mata pelajaran formal dapat dimasukkan dalam pengembangan diri. Pembelajaran materi pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat juga diberikan secara tersendiri sebagai bagian dari pengembangan diri. Apabila daya dukung satuan pendidikan yang bersangkutan kurang memadai untuk menyelenggarakan pendidikan keunggulan lokal, maka dapat dilaksanakan melalui kerjasama dengan satuan pendidikan formal dan/atau satuan pendidikan non formal lain (yang terakreditasi) dan menyelenggarakan program yang relevan. IV. Peranan Co-Planer di Tingkat Distrik
Penentuan mata pelajaran di suatu daerah (tingkat kabupaten atau kotamadya yang merupakan kewenangan dari Dewan Pendidikan dan institusi pendidikan atau Diknas, seharusnya dilakukan melalui studi tentang identifiskasi potensi daerah masing-masing. Sehingga, Bahan ajar (mata pelajaran) yang diberikan kepada siswa sesuai dan memang diperlukan oleh masyarakat sekitar (social demand). Pendidikan Daerah seharusnya mampu memenuhi keperluan masyarakat sekitar pada tenaga terampil untuk memajukan daerah dengan terjadinya peningkatan kesejahateraan, kesempatan kerja, dan IPM. Jangan sampai terjadi sumber daya alam daerah dikelola oleh pendatang, baik yang berasal dari daerah lain atau apalagi dari negara lain. Pendayagunaan sumber daya alam yang tidak mampu mengakomodir semua kehendak dan kebutuhan masyarakat daerah hanya merupakan eksploitasi yang sangat merugikan masyarakat selaku penduduk asli daerah.
Pada titik inilah peran dari Coplaner dibutuhkan. Coplaner adalah salah satu proyek yang dibuat untuk menyebarluaskan dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengelola sumber daya pendidikan (Jiyono et al, 2001: 135). Coplaner bertugas untuk memberikan informasi dan kebutuhan dasar pendidikan yang akurat pada tingkat sekolah yang diusulkan dan diajukan secara berjenjang ke pusat melalui proses bottom up planning. Coplaner ini berada di tingkat kecamatan dengan maksud agar informasi yang diperoleh lebih relevan karena lebih dekat dengan lokasi proyek coplaner, dan agar ada koordiansi dalam menyampaikan informasi secara tepat waktu ke kabupaten.
V. Kesimpulan
Dari uraian diatas bisa disimpulkan bahwa desentralisi pendidikan yang berpijak pada UU no 22/1999 dan revisinya UU no.32/2004 tentang pemerintahan daerah serta UU no.20/2003 tentang Sisdiknas, adalah kebutuhan mutlak bagi peningkatan sumber daya yang relevan untuk pengembangan potensi daerah. Tuntutan Undang-undang tersebut dijawab oleh pemerintah melalui renstra Depdiknas 2004-2009 terutama pada kegiatan depdiknas ke-21 tentang pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap daerah. Hal ini dimaksudkan untuk mencetak tenaga-tenaga trampil yang diperlukan untuk mengembangkan potensi daerah yang muaranya adalah peningkatan kesejahteraan dengan parameter meningkatnya PAD. Kurikulum yang menyertai pengembangan sekolah berbasis keunggulan lokal disetiap daerah ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang mempunyai visi dan misi yang selaras dengan potensi lokal atau daerah. KTSP mem-break down mata pelajaran kedalam Standard Kompetensi (SK) yang terdiri dari beberapa Kompetensi Dasar (KD). Pelajaran Muatan lokal dalam KTSP bisa disampaikan dalam 3 strategi yaitu: mandiri, kolaborasi, integrasi.
Agar sekolah berbasis keunggulan lokal di setiap daerah dan mata pelajaran Muatan lokal dalam KTSP bisa match dengan kebutuhan dan potensi daerah diperlukan identifikasi dan kajian atau analisis tentang potensi daerah. Pada sisi inilah peran coplaner yang berada di tingkat kecamatan sangat diperlukan peran dan keberadaannya untuk memberikan masukan kepada pemerintah daerah dalam rangka pembuatan bottom-up planning.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
Mas Wahyu, izin share buat sumber tulisan saya yaa ...
thanks :)
Bet365 Casino & Sportsbook App | JTR - Jtmhub.com
Check out our 영주 출장안마 Bet365 남원 출장마사지 Casino & 고양 출장안마 Sportsbook review for more 익산 출장안마 info on and the 천안 출장마사지 Bet365 mobile sports app, which is available for both iOS and Android.
Post a Comment